Ekor Ekor Ekor ! -- syafree
Dikemas 09/10/2003 oleh Editor
Warga kampung kini memiliki kebiasaan baru. Memakan segala macam jenis ekor. Ekor kambing, ekor sapi, ekor ayam, ekor ikan dan segala macam jenis ekor lainnya.
Kebiasaan ini sebenarnya muncul belum lama. Beberapa tahun lalu ada orang kota datang ke kampung yang penduduknya tak sampai lima ratus orang ini. Orang kota itu membawa satu kapal, kapal ukuran nelayan, kotak kardus berisi televisi. Warga kampung memang terbiasa didatangi orang kota untuk berdagang. Maklumlah kampung ini hanya sebuah kampung yang terletak pada sebuah pulau kecil yang terpisah dari kota.
Jarak kampung kami dengan kota tujuh jam perjalan laut dengan boat—perahu motor—itupun kalau angin tidak kencang. Kalau laut sedang ganas, dua belas jam pun belum tentu orang sampai ke kota. Oleh karena itulah jarang sekali warga kampung yang pergi ke kota, jika bukan karena urusan yang sangat penting.
Kalau hanya masalah sakit, warga tidak ke dokter. Selain karena memang tidak ada dokter, warga kampung jarang sekali sakit. Masuk angin, batuk-batuk, panu, kudis, dan borok-borok di kulit tidak termasuk dalam kategori sakit dalam kamus hidup warga kampung ini. Dulu pernah ada mantri suntik tapi pergi lagi dua hari berikutnya. Mantri suntik kota keluaran ibu kota itu tidak tahan harus berak ditemani nyamuk. Maklumlah, kakus--istilah WC pun sebelumnya tidak ada dalam kosakata kakek buyut kami--yang warga buatkan untuk Pak Mantri hanya sekotak kamar tanpa atap berbahan daun kabung . Jadilah setiap pagi pantat Pak Mantri yang putih mulus itu jadi santapan empuk para nyamuk yang belum pernah merasakan darah orang kota.
Kampung tempat saya lahir dan besar dan mungkin juga mati ini sejak lama terkenal dengan rempah-rempah beraroma pedas, lada (Pipper Ningrum). Banyak para pedagang kota yang datang ke kampung dengan tujuan mendapatkan rempah-rempah mewah di zaman penjajahan. Mereka datang membawa serta barang-barang elektronik untuk ditukarkan, ditambah sisa uang jika perhitungannya lebih. Satu karung lada ukuran karung gula pasir setengah kuintal ditukar sekotak televisi empat belas inci. Satu radio kaset dapat ditukar dengan satu karung seperempat kuintal.
Aneh, padahal di kampung ini tidak ada yang namanya PLN untuk menghidupakan barang-barang kota itu. Tapi dapatlah juga barang-barang itu dinikmati penduduk kampung dengan listrik dari aki atau strum dari disel.
Dulu, di kampung ini pernah terjadi perselisihan besar. Orang-orang tua menolak barang-barang kota sebangsa televisi dan radio--sumber setan kata mereka. Tapi, orang muda jugalah yang menang dalam perselisihan itu. Semua barang kota itu tak dapat tidak memenuhi setiap relung kampung. Jadilah sejak saat itu waktu mengaji anak-anak kecil kampung berganti dengan menonton televisi. Jam hidup pun bertambah panjang. Tak akan lagi ditemui suara-suara nyaring mengeja alif-ba-ta setelah merah matahari hilang dari garis pantai.
Kini tidak ada lagi anak-anak dan orangtua yang berebut kepala ikan jika sedang makan. Dulu anak-anak jarang sekali kebagian kepala ikan, kecuali anak yang bodoh. Kata orang-orang tua, makan kepala ikan itu membuat bodoh. Dan anak-anak pun percaya. Setelah itu, habislah setiap kepala ikan yang terhidang di atas dulang disikat orang-orang dewasa. Ha!, sekarang aku baru mengerti mengapa orang-orang tua itu melarang kami makan kepala ikan, karena kepala ikan lebih enak daripada bagian ikan yang lain. Terutama otaknya yang gurih dan lunak itu.
Sebenarnya sebelum muncul kebiasaan makan segala macam ekor itu, warga kampung juga pernah memiliki kebiasaan baru: minum dari gelas kaleng. Gelas-gelas dari beling banyak yang dibuang diganti dengan kaleng dari bekas kaleng susu kental manis. Katanya biar mirip dengan yang di televisi-televisi itu. Pernah juga ada kejadian, selama satu minggu orang kampung memakai baju bermodel dan motif yang sama. Modelnya sama dengan baju bintang sinetron yang menjadi tontonan wajib warga, cuma beda harga dan kualitasnya. Tapi, itu tak penting, yang penting mereka bisa berpakaian seperti idola mereka. Kebiasaan baru juga bila kini ada yang melahirkan dua hari setelah menikah.
Yang menjadi masalah adalah ketika semua pejabat kampung mengundurkan diri dari jabatannya dan meminta orang lain menggantikan mereka. Mereka lebih senang jika disuruh orang lain daripada jika harus memberi perintah kepada orang lain. Bangku-bangku deretan depan pada acara rapat di balai desa yang tidak pernah terisi kini deretannya semakin bertambah.
Keadaan tanpa pejabat di kampung kami sebenarnya tidak menimbulkan efek apa-apa. Semua orang tidak memerlukan apa-apa dari pejabat kampung. Karena sebenarnya tanpa pejabat pun kampung ini bisa tetap hidup. Punya rumah untuk berteduh dari matahari yang terlalu panas atau hujan yang terlalu deras. Punya kebun yang menyediakan makanan dan sayuran. Punya laut dan hutan sebagai sumber daging. Dan yang terpenting, punya kebun karet dan lada untuk ditukarkan hasilnya dengan para tauke yang datang ke kampung.
Tetapi, pejabat dari kota yang mengetahui keadaan kampung kami, tidak senang dengan keadaan yang sedang terjadi. Tidak boleh ada kevakuman dalam pemerintahan. Pejabat adalah kedaulatan sebuah teritori, walaupun itu hanya dalam skup kampung. Kalau tidak ada pejabat maka chaos yang akan terjadi. Oleh karena itu harus diambil tindakan segera untuk mengisi kekosongan pejabat di kampung kami. Begitu kata pejabat kota itu.
Mereka berkunjung ke kampung dan mencoba menyelesaikan masalah itu. Tapi tetap saja tidak ada yang mau jadi pejabat kampung. Berpuluh-puluh orang didorong-dorong, dari yang tua sampai yang muda, laki-laki dan perempuan, seluruhnya tidak ada yang mau. Bahkan cara terakhir dengan mengiming-imingi hadiah pun tidak berhasil. Mengambil tindakan kekerasan dengan mengerahkan pasukan militer sangat riskan untuk dilakukan. Pejabat kota bisa dituntut para mahasiswa dan orang-orang luar negeri.
Akhirnya pejabat dari kota itu menyerah dan pulang ke kota dengan kebingungan. Baru kali ini ada orang satu kampung tidak mau jadi pejabat. Setelah berkonsultasi dengan pembantu-pembantunya, akhirnya pejabat itu mengangkat beberapa orang pembantunya untuk menjadi pejabat di kampung bingung itu.
Sebulan lebih kampung kami memiliki pejabat dari kota. Sama seperti nasib orang-orang kota yang pernah bertugas di sini, tidak ada yang betah pada seminggu pertama. Pejabat baru ini sangat tersiksa pada awalnya. Serangan nyamuk ketika gulita menyergap kampung, keremangan malam yang seram, dan kesunyian yang sepi adalah sebagian kecil dari hal yang tidak disukai orang kota dari kampung ini.
Tapi, lama-lama para pejabat baru itu kerasan juga. Mereka sangat menikmati menjadi orang yang diberi jabatan. Dengan menjadi pejabat, walaupun hanya dalam sebuah kampung, mereka bisa mendapatkan sesuatu dengan mudah. Apalagi orang kampung kami sekarang menjadi orang yang senang dipimpin.
Jadilah pembantu pejabat kota yang kini jadi pejabat di kampung kami menjadi orang yang makmur dan senang. Dalam tiga bulan mereka telah mendirikan rumah yang lebih besar dari rumah-rumah orang kampung ini. Mereka punya mesin disel sendiri yang dimatikan lebih larut daripada mesin disel kampung yang mati jam sebelas malam. Televisinya lebih besar dari televisi penduduk kampung yang paling kaya.
Dalam laporan mereka kepada pejabat kota, keadaan belum bisa diatasi. Belum ada orang kampung yang mau diangkat menjadi pejabat, sehingga mereka harus tetap berada di kampung untuk mengembalikan keadaan kampung menjadi normal. Pejabat kota mengerti dan memberikan izin untuk memperpanjang masa tugas mereka di kampung.
Sebulan kemudian, pejabat kampung itu melapor ke kota. Pejabat kota terkejut, karena pejabat kampung itu melapor sebelum waktunya. Lagipula, seharusnya yang melapor itu tiga orang, bukan cuma satu orang. Lalu pejabat kampung yang juga pembantu pejabat kota itu menjelaskan bahwa dua orang temannya tewas dibunuh penduduk kampung yang berebutan jadi pejabat setelah menonton para pejabat kota yang berebutan jadi pejabat (lagi) di televisi.
Jogja, Februari-Maret 2003